Politik Kepentingan, Antara Dikotomi Ruang Privat dan Ruang Publik

SEJAK Reformasi 1998 Indonesia sebagai sebuah bangsa mengalami euforia yang berlebihan. Partai politik dan lembaga-lembaga lain sejak era baru itu, bermunculan, menjamur dan bertumpukkan.

Era baru, yang mengusung secercah cahaya perubahan justru memicu hakikat kerja dan penugasan yang semula memuat struktur nilai pun menjadi lenyap. Masing-masing dari diri masyarakat hanya menjalankan pekerjaan saja, lalu mendapat gaji, kemudian persoalan selesai. Struktur nilai tidak lagi menjadi sebuah panduan dalam pekerjaan.

Hal tersebut disampaikan oleh Chepry Chairuman Hutabarat saat menjadi pembicara “Conflict Of Interest dalam pengelolaan Organisasi Pengawas Pemilu”, yang diselenggarakan oleh Bawaslu Kota Bandarlampung, Sabtu (24/06/2023).

Menurut Founder Kelompok Studi Kader (Klasika) itu, kata bertugas sesungguhnya ketika menjalankannya mencerminkan nilai-nilai. Meski ketika menjalankan tugas tersebut kita mendapatkan sebuah feedback atau imbalan.

Selama ini, lembaga pemerintah seperti DPR, lembaga penyelenggara Pemilu, dll, ketika menjalankan tugasnya yang ada dalam pikirannya hanya bekerja, maka struktur nilai menjadi hilang.

Selain menyoroti struktur nilai yang lenyap dalam sebuah sistem kerja atau penugasan. Tokoh Pemuda Lampung itu juga mengurai konflik kepentingan dalam Pemilu.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
Awal Mula Konflik kepentingan

Menurut Bang Che, begitu biasanya dipanggil, awal dari sebuah konflik kepentingan ketika ruang privat dibawa keranah publik, atau dikenal dengan istilah privatisasi publik.

Ia menilai ranah privat cenderung ranahnya emosional atau perasaan. Ketika syaraf emosional yang menjadi kendali ketika berjumpa dengan yang lain akan menimbulkan efek suka tidak suka dan enak tidak enak.

“Sedangkan semestinya, ruang publik adalah ruang yang rasional. Ruang untuknya benar dan salah, dan Undang-undang merupakan alat ukur yang kongkrit,” ungkapnya pada para peserta diskusi yang digelar di Hotel Sheraton Lampung.

Mula dari segala bencana kehidupan Demokrasi Indonesia, lanjutnya, adalah ketika aspek emosional yang mendorong struktur laku masyarakat.

Konflik kepentingan, menurut Bang Che, terjadi dikarenakan terdapat aktor, kewenangan, dan kepentingan.

Ia berpendapat, relasi juga memegang peranan penting atas terjadinya konflik kepentingan. Relasi tersebut lazimnya diantaranya, Relasi politik, relasi pertemanan dan relasi kekerabatan.

“Relasi tersebut sangat rumit dihilangkan, apalagi ditengah kondisi politik yang semakin transaksional, yang mengedepankan kalkulasi untung dan rugi. Tidak ada kalkulasi peradaban dan pencerahan, dalam perpolitikan Indonesia terutama di Lampung,” terangnya.

Hal tersebut menyebabkan bencana demokrasi. Bahkan indexs demokrasi Indonesia pada tahun 2022 mengalami penurunan.
[elementor-template id=”11″]
Menolak Gratifikasi

Menurut Bang Che, kekuatan integritas secara moral untuk menjalankan tugas sesuai aturan undang-undang yang berlaku sangat sulit untuk dilakukan.

“Hal tersebut adalah sesuatu yang sulit, sebab siapa sih yang tidak menginginkan diberi sesuatu. Rasa-rasanya tidak ada,” tuturnya.

Akan tetapi kita harus mengetahui posisi untuk mendudukan yang privat dan publik. Saat di posisi publik kita harus menjalankan ketentuannya.

Tetapi dalam praktiknya kerap bocor dan mempengaruhi kebijakan. Sehingga menimbulkan kelemahan sistem, penyalahgunaan jabatan, rangkap jabatan hingga kepentingan pribadi.

Dampak Konflik kepentingan

Konflik kepentingan memiliki tendensi untuk mempengaruhi kebijakan. Kebijakan tersebut selanjutnya dipelintir, diarahkan seturut dengan kepentingan pihak terkait.

Hal tersebut nampak juga dalam Pemilu. Semula dari proses tahapan sampai dengan pelaksanaan pemilihan kedepan.

Badan Pemilu, menurut Bang Che kerap mengalami silang sengkarut tarik menarik, kepentingan dalam kepemiluan.
[elementor-template id=”13″]
“Hal ini menjadi problem mendasar bagi kehidupan berdemokrasi. Kita belum bisa mengurai benang kusut dari konflik interest ini,” sambungnya.

Secara historis dan filosofis, menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah perjalanan panjang, bagaimana mentalitas masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari konflik kepentingan. Salah satunya efek kolonialisme.

Ia menambahakan, dampak dari konflik kepentingan adalah menguntungkan pribadi dan kelompok, tapi disaat bersamaan merugikan negara dan masyarakat. Dalam struktur biologis disebut dengan istilah parasit.

“Kita hidup di induk sepet, tapi kita menghisap seluruh saripatinya,” lanjutnya.

Salah satu efek deskruktif dari konflik kepentingan adalah merugikan negara. Mulai dari kepentingan moral, etik, ideologis hingga uang.

Sayangnya yang menimbulkan skeptisme di masyarakat terhadap demokrasi politik adalah acap kali melihat contoh para tokoh, para pemuka dan aktor-aktor politik yang menunjukkan gambar negatif.

Hal itu bisa terlihat pada anggota DPR, Menteri hingga ke pemangku kebijakan di daerah-daerah.
[elementor-template id=”11″]
Ia beranggapan, salah satu yang mengerikan dalam konflik kepentingan adalah ketika ia menjadi semacam banalitas kejahatan.

Ketika dilakukan berulang kali, orang-orang melihat yang jahat bukan lagi menjadi sebuah kejahatan.

“Dalam istilah filsafat disebut banalitas kejahatan. Ketika kita samar, karena praktik kejahatan berlalu lalang dihadapan masyarakat, terangnya.

Saat masyarakat tidak lagi mampu mengindtifikasi kejahatan sebagai suatu yang jahat. Disitiluh bentuk kejahatan yang paling jahat.

Penanganan Konflik

Menurut Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) itu, konflik kepentingan bisa diatasi dengan mengutamakan kepentingan publik. Dengan begitu masyarakat dituntut untuk mendudukkan posisi mana yang privat dan mana yang publik.

Kata Republik, terangnya, yang berarti mengutamakan kepentingan semua masyarakatnya. Makanya disebut Republik. Republik berasal dari kata Res-publika lawan kata dari Res- privata.

Kehidupan politik dan demokrasi hari ini mengacu pada Politik Yunani yang berangkat dari sebuah keluarga. Sehingga keluarga dan keluarga lainnya membutuhkan manajemen bersama, dan terbentuklah sebuah negara.

Selain itu, sambungnya, forum-forum diskusi sangat penting dilakukan untuk mengurai benang kusut Konflik kepentingan.
[elementor-template id=”13″]
[elementor-template id=”11″]
“Jika tidak ada lagi forum-forum penanaman nilai dan moralitas, maka kehidupan berdemokrasi akan semakin habis,” tegasnya.

Berbicara konflik kepentingan, lanjutnya, yang ada di Bandarlampung juga menggambarkan konflik kepentingan di daerah lain.

Jika di Bandarlampung politik silang sengkarut tak karuan, maka hal itu menggambarkan kehidupan demokrasi di Indonesia dan daerah lain-lain.

Ia menilai lembaga penyelenggara Pemilu harus melibatkan masyarakat. Sesungguhnya melibatkan masyarakat menunjukkan bahwa lembaga pemilu sedang membutuhkan bantuan.

“Struktur kepengurusan lembaga penyelenggara Pemilu bukanlah superman, yang memiliki struktur nilai yang pakem dan tidak bisa goyah,” kata Bang Che

Peran serta masyarakat harus dioptimalkan,Sehingga bisa mendorong kehidupan berdemokrasi yang lebih baik. (***)